Pada Halte Kota yang modern di antara bangunan kolonial Museum Mandiri dan Stasiun Kota, Klara mengalami romansa penantiannya.
Pemandangan Indah Khas Kolonial di Kota Tua
Dengan perasaan haru mendalam, Juhani Pallasmaa, seorang arsitek, pengajar dan teoritikus, berujar bahwa sebuah karya arsitektural selalu mengandung kehidupan dan dapat berbicara dalam bahasa personal pada pengguna. Karya arsitektural, yang sering dianggap benda mati, tidak pernah benar-benar membisu. Ia berbahasa melalui setiap bentuk dan bahkan mengharapkan hubungan tertentu. Terdengar ajaib, namun itulah yang saya rasakan dan pahami dalam suatu momen menanti di halte TransJakarta.
Siang itu saya berniat menikmati perjalanan tanpa ada tuntutan waktu di akhir pekan. Dengan tujuan Blok M, saya menumpang TransJakarta dari Halte Kalideres dan hendak transit di Halte Kota. Perjalanan ini akan memakan waktu tiga jam.
Setibanya di Halte Kota, atmosfer progresif Jakarta perlahan tergantikan oleh nostalgia Batavia dengan bangunan-bangunan kolonialnya. Halte kedatangan ini berupa boks monokrom, bermaterial utama stainless steel dan kaca transparan, setipe dengan halte TransJakarta lainnya. Berada di dalam halte yang sangat modern mengasingkan saya dari lingkungan sekitar yang berciri kolonial.
Saat menatap sekeliling ruang, salah satu jendela menyuguhkan saya sepotong façade Museum Mandiri. Bidang transparan itu berhasil mencuri perhatian saya melalui wajah museum yang dibingkainya. Namun sayang, pandangan saya terbatas oleh rendahnya naungan halte.
Sebuah selasar memutar berbentuk U menghantar saya menuju halte keberangkatan. Naungan selasar meneduhi ruang dari teriknya matahari siang. Hanya saja naungan ini begitu rendah dan lagi-lagi menghalangi pandangan ke deretan bangunan kolonial di seberang jalan, kompleks Bank Mandiri. Sesaat saya membayangkan, posisinya yang dikelilingi bangunan historis pantas menjadikan selasar sebagi ruang observasi Jakarta tempo dulu. Bila demikian, penumpang TransJakarta tak hanya sekedar melalui selasar sebagai ruang transisi, tetapi juga dapat mengenang kembali suasana Jakarta di masa lalu.
Pada ruang tengah di antara selasar, ada empat kolam air mancur sedalam 20 cm. Terbersit sebuah angan. Sepertinya menyenangkan jika di sini penumpang dapat menikmati sebuah ruang publik untuk bersantai sejenak, menanti teman seperjalanan, atau bertemu kerabat. Anak-anak bahkan dapat bermain riang. Seorang teoris psikologi, Kaplan, secara kritis mengungkap bahwa melalui suatu daya tarik (effortless attention), penat dan gelisah akibat aktivitas yang diarahkan terus menerus dapat diredakan. Ruang publik ini tentu dapat menjadi daya tarik bila dimanfaatkan sebagai kantung aktivitas, yang dibicarakan Kaplan itu, untuk mengalihkan rasa bosan dan gelisah penumpang. Sayangnya, kolam terbuka ini justru tak terurus dan tertutup dari akses publik.
Bangunan Kolam di Halte TransJakarta Kota Tua
Semakin mendekati loket di halte keberangkatan, tampak sepetak taman terbuka yang dikepung oleh kompleks halte TransJakarta. Memasuki halte keberangkatan, pencahayaan beranjak meredup, refleksi cahaya matahari berkilauan pada beberapa titik permukaan lantai alumunium. Setelah mendapat tiket, saya bergerak menuju entrance machine dengan tuasnya yang merentang seakan menawarkan jabat tangan selamat datang. Saya pun menyambutnya dengan genggaman dan dorongan tangan. Intensitas suara yang sangat tinggi segera menyergap saat saya memasuki ruang tunggu. Suara klakson kendaraan dan deru mesin bajaj, yang lalu lalang di depan halte, memenuhi ruang.
Kali ini saya tak ingin segera mengantri, walaupun tata letak ruang tunggu mengarahkan saya segera menuju antrian. Pelat alumunium seakan berteriak saat terinjak alas kaki sejumlah orang, sinyal bus telah datang. Saya tak tergesa-gesa dan mencari tempat duduk. Setelah menyambut tawaran pangkuan dari alas duduk, saya menoleh ke bidang transparan yang menjadi sandaran punggung. Tanpa sadar saya kembali terbujuk oleh ketelanjangan dinding kaca yang memberi kesempatan bagi saya meninjau lingkungan di sekitar halte. Rasanya saya telah terhanyut dalam roman nonverbal dengan entrance machine, bangku, dan bidang kaca.
Kini saya memperoleh vista taman dari sudut pandang yang lebih baik. Sebuah menara jam tua berdiri di tengah taman, ditemani beberapa karung sampah. Pemandangan ini mengingatkan saya pada kondisi kolam air mancur yang terabaikan di dekat selasar penghubung tadi. Saya berusaha menikmati muka bangunan Museum Mandiri, yang menjadi latar taman, tetapi tak berhasil. Badan halte kedatangan menutupi separuh facade museum. Saya mengalihkan pandangan, menghadap pintu halte di hadapan saya. Terpampang facade Stasiun Kota dengan ciri Art Deco yang juga tak dapat dinikmati secara utuh karena terhalang langit-langit. Saya terhanyut dalam sebuah ironi, halte Kota berada di tengah-tengah kompleks bangunan historis, namun tak sanggup memberi akses bagi penumpang untuk mengobservasi kota.
Menyadari hari semakin sore, saya berjalan ke arah antrian. Saya beruntung mendapat tempat di sisi railing. Apabila tak terangkut dalam waktu lima menit, saya dapat menyandarkan tubuh atau setidaknya meletakkan siku. Railing memberi saya kemudahan selama menanti. Roman kembali membuai saat saya menjalin interaksi personal dengan railing, yang membuktikan pemahaman John Hejduk, seorang arsitek Amerika, bahwa ruang arsitektural merupakan konteks terjadinya komunikasi nonverbal antara elemen pembentuk ruang dan pengguna yang selanjutnya melahirkan makna personal bagi pengguna.
Selama dua puluh menit menanti bus, saya mengalami berbagai sensasi visual, audio, dan sentuhan, namun tak mampu mencerap aroma spesifik. Terlintas tuturan seorang arsitek peraih Pritzker Prize, Peter Zumthor, yang menganggap keindahan karya arsitektural akan menjanjikan kenikmatan inderawi melalui sentuhan, vista, suara, serta aroma, yang bekerja sama menghembuskan jiwa ruang. Sayangnya, sensasi yang dapat tercerap selama saya berada di halte belum seluruhnya nikmat. Andai saja elemen arsitektural mampu menggugah emosi penumpang, atau yang disebut kritikus arsitektur, George Baird, sebagai sisi erotis ruang arsitektural (amorous dimension), tentu momen menanti bus menjadi rutinitas yang menyegarkan. Roman singkat yang saya jalin dengan elemen arsitektural Halte Kota pun harus berakhir saat datang giliran naik bus, meninggalkan sebuah pengalaman menanti yang penuh imajinasi di akhir pekan.
Stasiun Kota dari Jendela Halte Transjakarta
Penulis:
Klara Puspa Indrawati
Reblog as is from:
Roman Singkat di Halte TransJakarta.
~~
I really concern on this since Kota Tua – including Stasiun Kota is one of Cultural Heritage, The building of “Halte Transjakarta” in Stasiun Kota Area should be designed in harmony. Or probably the whole building is made from the glass so this building can also be a view point to the center of Kota Tua
@ReSharyna